Kamis, 28 Februari 2013

Mengatasi Kebiasaan Mencontek



Kebiasaan yang muncul pada anak yang suka mencontek biasanya didapat anak dari lingkungannya.  Dalam hal ini anak mulai melakukan perbuatan tidak jujur, karena mencontek adalah mencuri informasi dengan cara yang tidak terpuji. Jika perilaku atau perbuatan mencontek pada anak muncul dengan frekuensi yang terus menerus maka orangtua diharapkan dapat memberikan perhatian yang lebih pada anak agar kegiatan atau perilaku mencontek tidak menjadi suatu kebiasaan yang menetap pada anak.

Orangtua atau pendidik pastinya sangat tidak menginginkan anaknya menjadi anak yang tumbuh tanpa kepercayaan diri, dalam hal belajar atau pendidikan anak menjadi malas dan mengalami kelambanan dalam belajar, daya nalar dan kekuatan mengingat cenderung rendah. Yang jelas perbuatan mencontek sangat merugikan diri anak sendiri dan orang lain pada akhirnya. Untuk itu selaku orangtua, pendidik dan pemerhati anak harus menolong anak kita.

Adapun beberapa cara mengatasi kebiasaan mencontek yaitu:

1.      Selaku orangtua bersikap tenang, jika anak mengakui perbuatan curang(mencontek) yang dilakukan karena kemauannya sendiri.

2.     Sebagai bentuk kepedulian orangtua tanyakan mengapa anak mencontek, jawaban anak Anda menjadikan Anda dapat bersikap dan bertindak, selalu selidiki perkembangan pola belajar anak sebagai usaha pencegahan. 

3.    Tolonglah anak Anda untuk menemukan jalan keluarnya dan memberikan motivasi, jika anak Anda merasa tidak siap untuk menghadapi tes dan merasa takut gagal.

4.    Memberi bantuan dan bimbingan pada anak Anda dalam belajar di rumah sebagai sarana komunikasi pemberian nasehat.
    
5.  Orangtua memberikan penjelasan tentang keburukan mencontek.

6.    Katakan juga kepada  anak Anda bahwa sebuah nilai kecil dapat diterima jika hasil dari usaha terbaik dan mengerjakannya dengan kejujuran (usaha sendiri tanpa mencontek)

7.    Jika menurut Anda kemampuan anak Anda dibawah standar, maka carilah bimbingan belajar lain terlepas dari bimbingan yang Anda berikan sendiri.

8.    Jika anak Anda ketahuan mencontek, tindakan Anda adalah tidak menghukum atau mengejek anak Anda namu berlah kesempatan Anak Anda untuk bertanggungjawab.

9.   Orangtua atau pendidik sebaiknya selalu memperhatikan atau memberi contoh perbuatan yang baik, bisa juga dengan mengatakan bahwa “Anda tidak meniru pekerjaan orang lain”

Rabu, 27 Februari 2013

Mengapa Anak Berbohong?



Kebohongan adalah hal yang wajar terjadi pada diri anak. Ia hanyalah merupakan sebuah bagian proses perkembangan kepribadiannya. Maka seringkali kita melihat anak yang masih kecil sudah bisa berbohong.  Siapapun tentu tidak ingin mempunyai anak yang suka berbohong. Oleh karena itu sejak dini orang tua harus mampu mengarahkan sehingga tidak menjadi kebiasaan buruk yang bisa menjadikan anak akan memanfaatkan untuk maksud-maksud buruk.
Dapat dipastikan apabila sejak kecil seseorang telah terlatih untuk berbohong, maka banyak kejahatan yang akan anak lakukan sewaktu dewasa kelak. Untuk menghadapi anak suka berbohong, orang tua tidak perlu panic. Ayah dan bunda harus mencari penyebab kebohongan yang dilakukan anak, karena cara penyelesaian yang di tempuh berbeda satu sama lain. Nasehat yang harus didengarkan anak tentu tidak sama. Kita sebagai orang tua tidak bisa menyalahkan siapa-siapa kalau anak kita sudah suka berbohong, karena bisa jadi mereka melihat dari perilaku orang tuanya yang pernah berbohong dan kita berpikir karena mereka masih kecil pasti tidak mengerti padahal anak usia dini berada dalam tahap belajar, melihat dan mencontoh, orang tua kadang mengabaikan hal sepele ini.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan anak mulai suka berbohong yaitu :
1. Haus pujian
Adapula anak yang suka berbohong karena ingin dipuji. Pendorongnya adalah naluri anak yang egosentris, cinta diri sendiri. Jika diarahkan dengan benar, naluri haus pujian ini tentu berangsur-angsur hilang sesuai perkembangan usia dan kepribadian anak. Orang tua harus mencari sebanyak mungkin kebaikan-kebaikan yang diperbuat anak dan segera member pujian. Anak diberikan tugas-tugas yang menantang tetapi sesuai dengan kemampuannya. Maka pujian harus diberikan kepadanya apabila tugas-tugas itu dapat dilakukan dengan baik. Mendapat pujian adalah naluri seorang anak dan orang tua tidak perlu mengekang kebutuhan ini selama ditempatkan secara benar. Apabila kebutuhan ini tidak tercukupi, sangat besar kemungkinan anak suka berbohong, membaik-baikan dirinya di depan orang tuanya karena mereka haus akan sanjungan dan pujian.
2. Imajinasi
Kebohongan tentang kejadian yang tidak masuk akalpun sering terlontar dari mulut sikecil. Orang tua perlu menghargai imajinasi ini. Jangan menghina, mencemooh atau meremehkan imajinasinya. Yang harus dilakukan adalah member pengertian kepada anak sedikit demi sedikit, mana yang imajinasi dan amana yang sebenarnya. Jangan hanya menganggukan kepala tanda setuju atau semata berdiam diri saja dengan cerita khayal mereka. Kelak anak perlu mengerti batas antara dunia imajinasi dengan dunia nyata.
3. Pahitnya kejujuran
Jika ananda mengakui kesalahannya sikap orang tua idealnya merespon dengan proforsional, janagn sampai anak mempunyai pola pikir bahwa kejujuran ankan membahayakan dirinya. Dan pengalaman pahitpun mendorongnya untuk berbohong dikesempatan lain. Semula bohong kecil-kecilan, semakin lama semakin besar. Seharusnya orang tua mau berlapang dada untuk mendengarkan hal-hal yang pahit dari kejujuran. Namun hal ini jangan menjadikan kita kesal sehingga memberikan kesempatan anak untuk berbuat dusta gara-gara kita ingin ia mengatakan sesuatu yang menyenangkan orang tuanya. Jangan sampai anak terdorong mengatakan sesuatu yang mereka sendiri tidak menyukainya.
4. Intimidasi kebohongan
Anak seorang penipu mempunyai peluang besar menjadi penipu juga.  Dan itu sangat mudah terjadi, kalau orang tua tidak betul-betul mendidik anak. Sifat khas orang tua adalah perilaku imitasi.
Ketika anak pulang dari sekolah, langsung disambut ibu dnegan pertanyaan, apakah ia menangis disekolah, apakah ia memukul temannya dan beragam pertanyaan lainnya. Yang menjadi pusat perhatian ibu adalah laporan-laporan negative. Hal ini justru memicu kebohongan-kebohongan si anak.

sumber: prabumulih pos

Selasa, 26 Februari 2013

Penyebab dan Cara Mencegah Anak Menjadi Egois



Anak-anak yang terkesan mementingkan diri sendiri biasanya lebih disebabkan oleh pemikiran yang mendasari pola pikirnya. Mementingkan diri sendiri atau egosentrisme pada anak, terjadi bila anak lebih peduli pada dirinya sendiri daripada orang lain.

Ciri-ciri anak yang mementingkan diri sendiri:

1.     Merasa superior, karena merasa lebih dari anak-anak yang lain, anak egois berharap orang menunggunya, memujinya dan dapat selalu menjadi pemimpin. Efek yang sangat negatif mereka menjadi sok berkuasa, meremahkan orang lain, tidak peduli terhadap orang lain dan tidak mau melakukan kerjasama.

2.     Egois karena merasa menjadi koraban. Anak memiliki perasaan tidak diperlakukan secara adil sehingga menyebabkan anak marah pada semua orang. Efek yang sangat negatif anak sulit bersosialisasi dengan teman-teman dan orang dewasa.

3.     Egois karena merasa inferior. Anak menilai diri sendiri tidak berharga. Anak mudah dipengaruhi dan disuruh oleh orang lain. Anak sering diabaikan oleh teman-temanya tetapi bukan berarti tidak sukai.

Faktor penyebab anak menjadi egois:

1.     Urutan kelahiran anak bisa jadi penyebab egoisentris. Dalam hal ini anak sulung dan bungsu dari keluarga besar berkembang menjadi egois, hal ini disebabkan mereka bisa menjadi pusat perhatian.

  2.     Orang tua terlalu melindungi anaknya, sehingga menyebabkan anak berfikir bahwa semua orang akan melakukan segala sesuatu untuknya.

3.     Orang tua terlalu memfavotitkan dan membanggakan anaknya. Sikap orang tua tersebut sangat diketahui oleh anak. Hal ini menyebabkan anak mnejadi suferior, begitu juga sebaliknya.

4.     Orang tua terlalu berlebihan dalam memberikan perhatian.

5.     Jumlah saudara yang sedikit menyebabkna anak menjadi egois.

Tips mencegah anak menjadi egois:

1.     Orang tua member contoh peduli terhadap orang lain, dengan salaing berbagi kepada orang lain, memberi perhatian dan empati kepda orang lain.

2.     Orang tua harus bersikap adil pada setiap anak sesuai kebutuhan.

3.     Orang tua dapat memberikan penghargaan kepada anak jika berhasil, jika gagal orang tua harus memberikan pemahaman dan tetap memberikan motivasi.

4.     Sejak dini sebaiknya anak diberikan tanggung jawab. Hal ini bertujuan untuk melatih kepedulian terhadap orang lain dan dapat berbagi dengan orang lain.

5.     Ajarkan anak berempati pada lingkungannya, dengan memberikan contoh langsung.

6.     Orang tua menunjukkan dan mendiskusikan hal positif jika anak memperhatikan orang lain. Anak diberi kesempatan untuk berteman, bekerjasama dan menolong orang lain. Dan mendiskusikan akibat negatif kalau egois.

7.     Beri ananda motivasi dan pujian jika dapat berbagi dan menolong orang lain, munculkan perasaan puas pada diri sendiri jika sianak dapat melakukan kebaikan.


sumber: prabumulih pos


 

Senin, 25 Februari 2013

Akibat Perhatian Negatif Terhadap Anak



Kebiasaan yang sering dilakukan orangtua adalah lebih sering memusatkan perhatian pada sisi negatif yang di lakukan ananda. Padahal orang tua bukan “polisi” yang hanya bertugas mencari kesalahan anak dan menghukumnya, bukannkah lebih baik mencari kebaikan anak dan memberinya pujian daripada memberinya hal-hal berupa kemarahan.

Sebelum membuat aturan orang tua hendaknya mempertimbangkan tingkat perkembangan kejiwaan anak. Jangan diukur dengan ukuran orang dewasa. Orangtua hendaknya menyadari bahwa dunia anak jauh berbeda dengan dunia orang dewasa.

Terkadang para pendidik dan orang tua lupa tidak memberikan pujian, ciuman, senyuman, anggukan kepala, bahkan menolehpun tidak, ketika anaknya mandi tepat waktu dan bias sendiri, ketika anak dapat membuang bungkus permen di tempat sampah, atau ketika sesekali menutup pintu dengan pelan.

Yang justru sering dilakukan orang tua adalah memperhatikan ananda hanya ketika ananda atau anak membanting pintu, menumpahkan minuman di lantai, mengotori dinding dengan kakinya. Yang terjadi kemudian adalah ketidak seimbangan perhatian positif dengan negatif, tidak sebanding dengan sedikitnya perhatian positif. 

Pengaruh banyaknya perhatian dari sisi negative pada anak dapat memunculkan anak kelompok penentang. Kelompok ini dapat digolongkan dalam 3 tipe yaitu:

Pertama, tipe penentang aktif, mereka (ananda) menjadi keras kepala, suka membantah dan membangkang apa saja kehendak orang tua. 

Kedua, tipe pemberontak dengan cara halus, sadar bahwa tubuh kecilnya tak mampu menandingi kekuatan “polisi” yang tak lain orang tuanya sendiri.

Ketiga, tipe selalu terlambat, anak-anak seperti itu baru mau mengerjakan suatu perintahsetelah lebih dahulu melihat orang tuanya jengkel, marah dan mengomel karena kemalasannya. Mereka juga seringkali tergopoh-gopoh saat berangkat sekolah bahkan mereka terlambat bukan karena banyak pekerjaan yang harus mereka selesaikan tetapi mereka sengaja terlambat.